Selasa, 25 Januari 2011

biografi ungu

Posted by Unknown 16.19, under | No comments



Biografi :

Ungu adalah grup musik Indonesia yang beranggotakan Pasha (Sigit Purnomo S.S./penyanyi), Makki (Makki O. Parikesit/bass), Enda (Franco Medjaya Kusuma/gitar), Onci (Arlonsy Miraldi/gitar), dan Rowman (M. Nur Rohman/drum).

Grup musik ini didirikan pada 1996, dengan Makki sebagai satu-satunya personil awal yang masih aktif sampai sekarang. Sampai tahun 2007 mereka telah menghasilkan 4 album dan 2 album mini.

Album pertama Ungu dirilis 6 Juli 2002 bertajuk LAGUKU. Sebelumnya, Ungu ikut mengisi 2 lagu (Hasrat dan Bunga) di album kompilasi KLIK bersama Lakuna, Borneo, Piknik, dan Energy. Meski terbilang sukses, album ini perdana mereka mendapat Platinum Award setelah hampir 2 tahun album ini dirilis.

Album kedua pun dirilis Desember 2003 bertajuk TEMPAT TERINDAH yang menjagokan lagu Karena Dia Kamu.

MELAYANG, album ketiga mereka dirilis Desember 2005. Album ini mencetak rekor dengan mengantungi doble platinum (penjualan lebih dari 300.000 kopi) pada bulan pertama peredarannya. Gaung lagu andalan album ketiga ini, Demi Waktu merambah sampai negeri Jiran dan diperebutkan 4 perusahaan label Malaysia yang menginginkan hak edarnya.

Album mini SURGAMU dirilis bulan September 2006 untuk menyambut bulan Ramadhan 1427 H. Pada minggu pertama, album ini mencetak penjualan 150 ribu kopi.

Album reguler keempat Ungu bertajuk UNTUKMU SELAMANYA dirilis di empat negara di Asia. Album yang mengandalkan lagu Kekasih Gelapku, Cinta dalam Hati, Apalah Arti Cinta dan Ijinkan Aku ini dirilis pada tanggal 9 Agustus 2007 di Kuala Lumpur, Malaysia, 10 Agustus 2007 di Singapura, 12 Agustus 2007 Hongkong, dan puncaknya 15 Agustus 2007 di Jakarta, Indonesia.

Menyambut Ramadhan 1428 H, Ungu merilis album religi lagi yang berbentuk mini album bertajuk PARA PENCARIMU. Sebelum mini album ini dirilis, tiga dari lima lagu telah terpilih sebagai soundtrack sinetron religi yang tayang selama Bulan Ramadhan.

Pada 1 Mei 2009, Ungu kembali merilis album teranyarnya, PENGUASA HATIKU. Di album kelima ini, Ungu menjagokan lagu Hampa Hatiku. Yang menarik, Ungu berduet dengan Iis Dahlia di lagu ini. Memang di lagu bercorak dangdut, Ungu ingin memberikan yang berbeda dari album-album sebelumnya. Selain itu, di album ini Enda sang gitaris, juga menyumbangkan lagu di Badai Kini Berlalu.

Minggu, 23 Januari 2011

looking for happiness

Posted by Unknown 18.40, under | No comments

Hidup sendirian di salah satu flat penthouse mewah dengan berlimpahan harta adalah kehidupan terbaik yang pernah dialami Toni Beddingfield, pemuda 24 tahun yang sukses menjadi pengacara termuda di Inggris, mungkin termuda di United Kingdom. Banyak masyarakat mengelu-elukan namanya sebagai pemuda sukses dan kaya, namun dia tidak merasa demikian. Dia berpikir belum mencapai kesuksesan, karena belum ada kebahagiaan yang pernah dia peroleh. Kekayaan layaknya sebuah jabatan, di mana hal itu hanya mempersoalkan perbedaan derajat dan uang. Ia sulit memikirkan, bagaimana ia bisa membeli apapun dengan uang, namun tidak mampu membeli kebahagiaan. Rasanya selama ini memang belum ada toko yang menyediakan paket kebahagiaan yang bisa ia beli.

Rekan-rekan di perusahaannya, yang kebanyakan lebih tua darinya, sering mengobrol dengannya mengenai permasalahan ini. “Pemuda mapan dan hidup sendirian sepertimu, kau tidak akan menemukan kebahagiaan sebelum kau menemukan seorang gadis, itulah cara agar kau bisa menemukan cinta, dan cinta akan mengantarmu menuju kebahagiaan. Ingat kata-kataku ini, kawan,” dan Toni memang masih ingat kata-kata rekannya ini sampai sekarang.

Permasalahannya, dia tidak tahu apa itu cinta. Tidak ada yang bisa menjelaskan kepadanya apa definisi kata cinta. Dalam pikirannya, kata “cinta” hanya seperti mantra sihir yang sering diucapkan tanpa ada yang sadar apa arti kata yang mereka ucapkan tersebut.

Toni masih duduk di meja kecil, di dapur di mana ia sedang menikmati sarapannya, roti panggang dan secangkir kopi, yang ada di hadapannya. Minggu pagi ini memang membuat ia jadi merasa santai. Otaknya yang terprogram sebagai seorang pengacara membuatnya berpikir segala macam apapun persoalan dengan sangat cermat dan serius, tak terkecuali untuk hal seperti ini. Salah satu kebahagiaan bisa diperoleh dengan cinta, begitu pikirnya. Untuk masalah cinta, pemuda ini menjadikannya sebagai kelemahan terbesarnya. Selama ini ia belum pernah sekalipun menghabiskan masa remajanya dengan hal cinta-cintaan, dia sama sekali tidak tertarik. Toni bukanlah remaja seperti teman”nya yang suka jatuh cinta dengan beberapa gadis, lalu memutuskan hubungan, kemudian mendapatkan gadis lain, dia berpikir hal” semacam itu hanya membuang waktunya. Sejak hidup sebatang kara dengan orang tua angkatnya, Toni kecil kuliah di asrama di Kopenhagen, Denmark lalu cuti selama beberapa tahun untuk bekerja sebagai asisten pengacara si Brussel, kemudian kembali menuntaskan masa kuliahnya dengan nilai tertinggi sehingga tidak sulit bagi dia untuk masuk di kantor hukum pusat di wilayah Basille, inggris.

Seumur hidupnya, Toni pernah menyukai seorang gadis bernama Diandra yang merupakan teman kecilnya. Hampir seluruh masa kecilnya gadis itu selalu hadir di hari-harinya, menemaninya bermain dan tertawa bersama. Namun kebersamaan mereka berakhir ketika kebakaran itu terjadi di rumah Diandra yang menewaskan kedua orang tuanya. Sejak saat itu, Diandra yang berumur 7 tahun mulai menutup diri. Dia tidak pernah lagi menemui Toni, hanya mengurung diri di kamar. Saat ini dia tinggal sendiri di sebuah apartemen, terletak tepat di depan bangunan flat Toni.

Toni mengambil sebotol minuman cognac, lalu menuangkannya ke gelas. Dia berjalan menuju jendela, menghangatkan diri menuju sinar matahari pagi. Dari jendela dia bisa melihat pemandangan kota Basille dengan mobil-mobil lalu-lalang di jalan raya. Dari jendela itu pula ia bisa melihat sahabat kecilnya itu di apartemen seberang, sedang merias wajahnya, tanda bahwa ia akan pergi keluar. Saat ini Diandra sudah bisa menaklukan penyakit dyslexia akibat kebakaran itu, namun ia masih agak tertutup untuk bisa diajak bicara dengan orang-orang. Dari balik jendela itu Toni bisa melihat Diandra mengambil tas lalu siap untuk bepergian. Secara tiba-tiba ia ingat kalau hari ini ia berencana akan pergi ke toko buku. Segera saja ia mandi, lalu berganti pakaian kemudian bergegas menuju mobil Mercedes SL perak-abu miliknya.

Toko buku antik di tengah kota Basille menjadi tempat favoritnya, di mana ia bisa menemukan segala macam buku kuno, antik dan berasal dari berbagai negara. Sesampainya ia memarkirkan mobilnya, segera ia beranjak menuju toko buku itu. Bel kecil berbentuk lonceng bergemerincing menyambut kedatangan Toni ketika membuka pintu toko. Bau yang khas menyeruak di ruangan besar itu, mengajak Toni beranjak menuju rak-rak buku. Matanya menyapu judul-judul buku yang ia baca. Sesekali ia mengeluarkannya dari rak, membuka-buka isi buku itu dengan cepat, lalu meletakkannya kembali. Kali ini yang terlintas di pikirannya adalah bisa menemukan buku yang berkaitan dengan cinta, yang selama ini selalu dihindarinya. Namun buku-buku mengenai hukum maupun fiksi juga menarik perhatiannya.

Ketika berjalan di lorong-lorong rak buku, betapa terkejutnya Toni melihat sahabat kecilnya itu juga berada di toko buku ini. Diandra sendiri tidak menyadari kehadiran Toni, ia sedang sibuk berjalan menyusuri rak-rak buku, menyapu punggung buku dengan jari-jemarinya lembut. Ia lalu menyadari keberadaan Toni ketika ia sedang mengeluarkan sebuah buku glosarium, terlihat di celah kecil di antara buku-buku. Toni sedang melihatnya. Rambut poni panjang berwarna hitam mengkilat dan mata hijau Diandra, kini terlihat jelas oleh Toni. Pakaian yang dikenakan Diandra membuatnya layaknya gadis dewasa, kecuali wajahnya yang masih terlihat mungil yang membuat Toni tidak bisa melupakannya.

Segera Toni menghampirinya, mungkin inilah satu-satunya kesempatan menemuinya, begitu pikirnya. Selama ini Toni tidak pernah lagi menemuinya selama masa belajarnya hingga kembali ke Inggris untuk bekerja di kantor hukum. 2 tahun tinggal di flat miliknya, baru seminggu lalu ia menyadari kalau Diandra tinggal di seberang jalan, ketika ia melihat Diandra sepulang dari sebuah tempat yang setelah ia cari informasi ternyata dari pusat tempat penelitian dyslexia, sejak saat itu Toni mengetahui kalau Diandra menderita penyakit dyslexia.

Diandra hanya terdiam, pipinya memerah ketika Toni sudah berada di sampingnya. Dia tidak tahu apa yang harus dia bicarakan kepada Toni, Diandra hanya tertunduk sambil memegang buku itu gemetaran. Toni mengulurkan tangannya, menyalami Diandra. Dia baru menyadari tangan Diandra yang dingin. Segera ia tarik tangan gadis itu dan memeluk tubuhnya. Diandra masih terdiam. Sebenarnya ia merasa sangat nyaman ketika berada di pelukan Toni, namun Toni melepaskan pelukannya dan segera bertanya mengenai kabarnya. “Apa kau masih mengingat sahabat kecilmu ini, Diandra? Bagaimana kabarmu?”, tanya Toni dengan senyum bersahabat. Sesaat jantung Diandra berdegup kencang, baru kali ini semenjak kebakaran itu ia mendapat senyum hangat dari orang lain. “A..Aku. Tidak terlalu buruk,” jawabnya kaku. Kali ini ia beranikan diri mendongak ke arah Toni. Toni merasa iba terhadapnya, dilihatnya bekas luka pada dagu Diandra akibat kebakaran itu. Toni meraih tangannya, dielusnya dagu itu, merasakan bagaimana sakitnya yang dialami sahabat kecilnya itu. Diandra tidak menolak. Dia menutup matanya, membiarkan wajahnya disentuh oleh tangan Toni yang hangat. Sekilas senyum terulas di wajah Diandra, merasakan betapa senangnya momen yang ia alami saat ini tanpa mampu menyembunyikannya.

Tiba-tiba terdengar teriakan orang-orang dari dalam toko buku, seluruh pengunjung berlarian keluar. Toni dan Diandra menyadari kalau toko buku mengalami kebakaran. Hubungan arus pendek pada sekering menyulut api melahap buku-buku pada rak yang menyebabkan api berkobar menjadi besar. Toni segera mengajak Diandra kabur. Namun mereka terperangkap, dari kedua ujung lorong api sudah menjilati rak-rak. Api besar di kedua sisi tersebut seolah membentuk pagar pembatas yang menghalangi mereka untuk keluar. Toni berpikir keras bagaimana cara mereka bisa keluar.

Diandra hanya bisa menggigil ketakutan, meringkuk dengan membungkukkan tubuhnya dan membenamkan kepala di lengannya. Perasaannya sungguh kalut. Sekian lama ini ia mencoba melakukan berbagai terapi agar ia bisa melupakan kejadian kebakaran itu, namun trauma itu sekarang terulang lagi. Di pikirannya melayang mengingatkan bagaimana api itu telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Diandra sudah tidak mampu lagi menahan tangis; dia mulai terisak sedemikian kerasnya sehingga tubuhnya bergetar keras.

Toni melihat keadaan Diandra dengan sangat iba. Ia memegang erat tangan Diandra, mencoba menenangkannya. “Tenang saja, aku akan menyelamatkanmu apapun caranya,” ucapan Toni yang lembut, meskipun keadaan saat ini seperti tidak ada harapan lagi, entah kenapa membuat hati Diandra sedikit mulai merasa tenang.

Mata Toni berkilat-kilat menyapu segala ruangan, namun ia tidak menemukan tabung pemadam. Pintu sudah terlalap api, tidak mungkin untuk keluar melalui pintu itu. Ia hampir putus asa. Tiba-tiba ia melihat etalase yang terbuat dari kaca, mengarah langsung keluar dari toko buku ini. Ia segera mengambil sebuah buku grammar besar yang masih belum sepenuhnya terbakar, melemparnya mengarah ke etalase toko. Kaca etalase pecah. Sekarang jalan keluar terbuka. Kesempatan ini digunakan Toni untuk mengajak Diandra keluar. “Tutup matamu. Pegang erat tubuhku. Kita akan keluar dari sini,” begitu kata Toni kepadanya. Segera Toni membopong tubuh Diandra, berlari menyeruak menuju etalase yang sudah pecah. Tubuh Toni terasa panas, paru-parunya seperti terasa terbakar sehingga sulit untuk dia bernapas, namun ia tetap berlari hingga akhirnya mereka bisa keluar dari toko buku yang hampir habis terbakar itu, orang-orang menyambut mereka dengan tepuk tangan, beriringan dengan datangnya mobil pemadam kebakaran. Kepala Toni terasa sangat pusing, ia sulit menyangga tubuhnya untuk berdiri. Ia lalu jatuh tak sadarkan diri.

***

Toni membuka mata, tiba-tiba ia sudah terbangun di tempat tidurnya. Kepalanya kini sudah tidak merasa pusing, ia merasa badannya sudah segar kembali. Ia tidak ingat bagaimana ia bisa sampai rumah setelah ia dan Diandra selamat dari kebakaran itu, ia juga tidak ingat bagaimana bisa ia tidur memakai pakaian tidurnya, tidak mungkin ia sempat mengganti baju sendiri setelah kejadian itu.

Tangan kirinya terasa hangat, Di samping tempat tidurnya ia melihat Diandra duduk tertidur di kursinya dengan tangan kanannya menggenggam tangan Toni. Toni merasakan kelegaan mengetahui Diandra baik-baik saja, ia juga tidak menyangka ternyata semalaman ini Diandra yang menjaga ia tertidur.

Toni bangkit dari tempat tidurnya. Ia berdiri menatap gadis yang sedang tertidur itu. Gerakan kelopak matanya menunjukkan kalau gadis itu sedang bermimpi. Sejenak, Toni berharap seandainya ia bisa melihat apa yang sedang Diandra impikan, apakah ia sedang memimpikan dirinya. Toni tersenyum, ia lalu mengangkat tubuh Diandra ke atas tempat tidur, lalu menyelimutinya.

Toni beranjak menuju dapur untuk sarapan, namun di dalam lemari sudah tidak ada apa-apa. Maka ia pergi keluar menuju supermarket untuk membeli persediaan. Sesampainya ia berbelanja, ia lalu kembali pulang. Sesampainya di flat, ia sudah disambut Diandra yang telah mengenakan baju hangat dan mengikat selimut di pinggangnya, tanda ia sudah selesai mandi. Gadis itu berjalan menghampirinya.

“Kau baik-baik saja?”

“Iya, aku sudah merasa baikan. Tapi bagaimana aku bisa kembali ke flatku setelah aku pingsan?”, ujar Toni. Diandra berkata,”Aku tahu betul mobilmu, jadi aku membawamu pulang setelah perawat dari ambulans itu mengobati luka-lukamu.” Kini Toni tahu kalau selama ini Diandra sudah mengetahui keberadaannya dan ia selalu memperhatikan dirinya.

“Terima kasih.”

Gadis itupun membalas ucapan Toni dengan tersenyum hangat ke arahnya.

***

Toni mengajak Diandra untuk sarapan. Untuk sekian lama setelah berpisah akhirnya sekarang mereka bisa kembali bersama. Di dapur itu mereka mengobrol tentang kehidupan mereka sejak mereka berpisah. Selama sarapan itu mereka menghabiskan waktu dengan bercerita, bagaimana Diandra berterima kasih sudah menolongnya dari toko buku lalu membawanya pulang. Setegang apapun yang mereka bicarakan, suasana masih tetap santai dan canda tawa mengiringi kebersamaan mereka.

Roti dan kopi hangat yang segar membuat Toni tidak merasa lapar lagi dan memberikan energi kepadanya. Lalu ia memutuskan untuk mandi. Saat air pancuran membasahi kepalanya, dia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum karena sekarang dia bisa ada bersama gadis yang selama ini ia sukai. Dia menikmati perasaan air hangat menyapu kulitnya. Dia menutup mata dan menengadahkan kepalanya.

Mungkin itulah sebabnya dia tidak menyadari saat Diandra masuk ke kamar mandi sampai gadis itu memeluk tubuhnya dan menekan tubuhnya ke punggung Toni. Tubuhnya terasa panas, lebih panas dari air. Dia bersenandung tenang dan membiarkan tangannya menyapu tubuh gadis itu. Diandra mencium punggungnya dan meraba dada serta perutnya. Saat dia mencoba membalikkan tubuh, gadis itu mempererat pelukannya. Dia membiarkan Diandra memimpin, mencondongkan tubuh ke depan dengan kedua tangan menyentuh dinding di hadapannya.

Tangan Diandra meluncur ke perutnya menuju pinggang sampai ke paha. Dia menggerakkan tangannya kembali melalui jalur yang sama, menyentuh tubuhnya hanya dengan ujung jari-jemarinya sebagaimana Toni pernah melihat bagaimana gadis itu menyentuh punggung buku pada saat pertama kali melihat dirinya di toko buku itu. Kemudian Diandra meletakkan tangan di pinggangnya dan membalikkan tubuh Toni menghadap dirinya. Toni membuka mata dan menatap mata hijau itu dalam-dalam. Rambut hitam, mata hijau, dan kulitnya yang putih membuatnya terpukau. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan dengan perlahan-lahan mencium bekas luka di dagunya. Diandra menghela napas dan Toni menggerakkan mulutnya ke bibir gadis itu. Dengan sedikit tarikan, Diandra memeluk erat tubuh Toni dan membalas ciumannya.

Diandra masih berada dalam pelukan Toni, dalam siraman air hangat dari pancuran.”Maaf Ton, selama ini aku menjauh darimu, dari orang-orang di sekitarku. Aku tidak bisa mengatakan betapa terpukulnya aku melihat orang tuaku yang tewas saat menyelamatkanku dari kebakaran itu. ”

“Maafkan aku Ton. Aku sendirian. Aku takut. Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi.”

Air mata Diandra mengalir. Toni tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang ia sayangi, sama seperti ketika ia hampir merasa akan kehilangan Diandra waktu kebakaran di toko buku itu. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi saat ini. Toni hanya mempererat pelukannya kepada Diandra.

“Tenang, Diandra. Kau masih mempunyai aku. Aku akan menjagamu lebih dari aku menjaga nyawaku.”

Kini Toni bisa merasakan hidupnya memiliki arti, paling tidak sekarang ia memiliki sesuatu untuk ia lindungi. Sekarang Toni tahu kenapa mereka tidak bisa menjelaskan apa arti cinta, karena cinta memang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Cinta hanya bisa ia rasakan. Sekarang Toni bisa merasakan cinta.

Ia rasa sekarang dia sudah bisa merasakan kebahagiaan.